- MetroNTB.net

Empat Ratus Satu Kepala Daerah Jadi Tersangka Korupsi," Termasuk Kota Bima  Satu Orang, Yakni HML."

Metro NTB
Dari  empat ratus satu Orang Kepala Daera Seantero Nusantara , Kota Bima termasuk ditangkap Oleh KPK RI  Yakni HML,   telah menjadi terdakwa dan dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara oleh Hakim Tipikor Mataram NTB,  karena terbukti melanggar pasal 12 tentang gratifikasi.
Kasus Korupsi yang melibatkan mantan Walikota Bima H.M. Lutfi, ini masih  menyisahkan tanda tanya sejumlah pihak."Pasalnya, disamping pasal 12 ,huruf B , Jaksa KPK dalam  tuntutanya  mencantumkan  Pasal 55 Ayat Ke , dan menyebut sejumlah nama  yg turut serta dalam skenario jahat tentang pengadaan baran dan jasa," Salah Nama yang dimunculkan  dalam putusan Hakim Pengadilan Tipikor Mataram adalah Hj.Elya Al Waini,  yang mendengar dan membaca berita tentang gratifikasi sejak tahun 2019 hingga tahun 2022, itu bertanya tanya , kapan Hj.Ely  CS ini diseret untuk mempertanggungjawabkan skenario jahat sebagai mana tercantum dalam putusan Hakim tersebut, atau dibiarkan berlalu tanpa disentuh oleh pasal 55 tersebut.?.
Demikian rangkuman Metro NTB, dari berbagai sumber.

Bukan hanya itu tapi Akhir akhir ini  Tahun 2024 belum genap satu bulan, tetapi kasus korupsi sudah kembali bermunculan. Pada bulan Januari, selama tiga pekan berturut-turut masyarakat sudah disuguhi kabar penangkapan kepala daerah yang terjerat korupsi. Tak kurang dari tiga kepala daerah telah ditetapkan sebagai tersangka rasuah. Penangkapan ketiganya membuka lembaran hitam di awal tahun dan menambah daftar panjang kasus korupsi kepala daerah.

Resolusi menjadi lebih baik di tahun baru tidak berlaku bagi ketiga kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan KPK. Mereka adalah Rahmat Effendi Wali Kota Bekasi, Jawa Barat yang terseret dugaan suap dalam pengadaan barang, jasa dan lelang jabatan (5/1), Abdul Gafur Mas’ud, Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur yang disangka korupsi suap pengadaan barang, jasa dan perizinan (13/1), dan Terbit Rencana Perangin-angin Bupati Langkat, Sumatera Utara yang diduga korupsi penerimaan hadiah atau janji proyek.

Mencuatnya fakta korupsi kepala daerah memang bukanlah hal baru. Berdasarkan data di situs kpk.go.id, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 tak kurang dari 22 Gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK. Jumlah itu tentu bisa lebih besar jika digabungkan dengan data dari Kejaksaan dan Kepolisian. ICW mencatat, sepanjang tahun 2010 – Juni 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum. 

Praktik rasuah yang mengemuka di awal tahun, sekali lagi ibarat fenomena gunung es. Sudah menjadi rahasia umum bahwa akar masalah dari maraknya korupsi kepala daerah salah satunya karena tingginya biaya politik. Metro NTB  mencatat (2018), mahalnya biaya politik setidaknya disebabkan dua hal yakni, politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying). Menurut kajian Litbang Kemendagri tahun 2015, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20 – 100 miliar. Sementara, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode. 


Dari ketiga kasus di atas modus yang digunakan sangat umum, mulai dari korupsi proyek pengadaan barang dan jasa, suap untuk menerbitkan izin dan juga jual beli jabatan. Sebagian besar tertangkap karena korupsi dalam proses pengadaan. Wajar saja, sektor pengadaan memang lahan basah korupsi karena anggaran yang dikucurkan sangat besar.

Kasus korupsi kepala daerah dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, tata kelola partai politik dan kebutuhan modalitas kontestasi elektoral. Kedua, lemahnya fungsi pengawasan, baik dalam praktik pengadaan barang, proses perizinan dan pengisian jabatan. Ketiga, rendahnya hukuman bagi pelaku korupsi sehingga tidak menimbulkan efek jera. 

Mengurangi Potensi Korupsi Kepala Daerah

Untuk mengatasinya, setidaknya dua upaya bisa diambil. Pertama, perbaikan tata kelola partai mulai dari kaderisasi hingga pendanaan partai politik. Sumber utama merebaknya korupsi tak berkesudahan oleh kepala daerah ada pada partai politik. Partai tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Mencuatnya politik berbiaya tinggi acap kali terjadi karena partai tak ubahnya sebagai mesin pengumpul dana jelang pemilu. Alhasil, partai dikelola tidak demokratis, kader instan bermunculan dengan modalitas besar bisa menyingkirkan kader potensial dari internal partai.

Kandidat yang berani memberikan mahar politik besar akan diajak bergabung dan diutamakan dalam kontestasi elektoral. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas masih menjadi catatan utama bagi tata kelola keuangan partai politik yang harus dibenahi.

Kedua, penguatan sistem pengawasan dalam proses pengadaan barang dan jasa melalui keterbukaan informasi dan data yang mudah diakses oleh masyarakat. Meski saat ini penerapan sistem pengadaan elektronik sudah dilakukan, namun masih terdapat sejumlah informasi dan data yang sulit diakses oleh masyarakat. Dengan penguatan transparansi dan akuntabilitas memberikan ruang bagi semua pihak untuk mengawasi pengadaan. Terakhir, yang tidak kalah penting dalam upaya mengatasi korupsi kepala daerah dengan mendorong aparat penegak hukum berani menjerat partai politik apabila terbukti melakukan korupsi seperti halnya pemidanaan korupsi yang melibatkan korporasi. 

Rangkuman ini disampaikan supya calon, dan konstituen  tidak lagi diiming iming uang.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda