Empat Ratus Satu Kepala Daerah Jadi Tersangka Korupsi," Termasuk Kota Bima Satu Orang, Yakni HML."
Resolusi menjadi lebih baik di tahun baru tidak berlaku bagi ketiga kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan KPK. Mereka adalah Rahmat Effendi Wali Kota Bekasi, Jawa Barat yang terseret dugaan suap dalam pengadaan barang, jasa dan lelang jabatan (5/1), Abdul Gafur Mas’ud, Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur yang disangka korupsi suap pengadaan barang, jasa dan perizinan (13/1), dan Terbit Rencana Perangin-angin Bupati Langkat, Sumatera Utara yang diduga korupsi penerimaan hadiah atau janji proyek.
Mencuatnya fakta korupsi kepala daerah memang bukanlah hal baru. Berdasarkan data di situs kpk.go.id, sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 tak kurang dari 22 Gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK. Jumlah itu tentu bisa lebih besar jika digabungkan dengan data dari Kejaksaan dan Kepolisian. ICW mencatat, sepanjang tahun 2010 – Juni 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum.
Praktik rasuah yang mengemuka di awal tahun, sekali lagi ibarat fenomena gunung es. Sudah menjadi rahasia umum bahwa akar masalah dari maraknya korupsi kepala daerah salah satunya karena tingginya biaya politik. Metro NTB mencatat (2018), mahalnya biaya politik setidaknya disebabkan dua hal yakni, politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying). Menurut kajian Litbang Kemendagri tahun 2015, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20 – 100 miliar. Sementara, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode.
Dari ketiga kasus di atas modus yang digunakan sangat umum, mulai dari korupsi proyek pengadaan barang dan jasa, suap untuk menerbitkan izin dan juga jual beli jabatan. Sebagian besar tertangkap karena korupsi dalam proses pengadaan. Wajar saja, sektor pengadaan memang lahan basah korupsi karena anggaran yang dikucurkan sangat besar.
Kasus korupsi kepala daerah dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, tata kelola partai politik dan kebutuhan modalitas kontestasi elektoral. Kedua, lemahnya fungsi pengawasan, baik dalam praktik pengadaan barang, proses perizinan dan pengisian jabatan. Ketiga, rendahnya hukuman bagi pelaku korupsi sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Mengurangi Potensi Korupsi Kepala Daerah
Untuk mengatasinya, setidaknya dua upaya bisa diambil. Pertama, perbaikan tata kelola partai mulai dari kaderisasi hingga pendanaan partai politik. Sumber utama merebaknya korupsi tak berkesudahan oleh kepala daerah ada pada partai politik. Partai tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Mencuatnya politik berbiaya tinggi acap kali terjadi karena partai tak ubahnya sebagai mesin pengumpul dana jelang pemilu. Alhasil, partai dikelola tidak demokratis, kader instan bermunculan dengan modalitas besar bisa menyingkirkan kader potensial dari internal partai.
Kandidat yang berani memberikan mahar politik besar akan diajak bergabung dan diutamakan dalam kontestasi elektoral. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas masih menjadi catatan utama bagi tata kelola keuangan partai politik yang harus dibenahi.
Kedua, penguatan sistem pengawasan dalam proses pengadaan barang dan jasa melalui keterbukaan informasi dan data yang mudah diakses oleh masyarakat. Meski saat ini penerapan sistem pengadaan elektronik sudah dilakukan, namun masih terdapat sejumlah informasi dan data yang sulit diakses oleh masyarakat. Dengan penguatan transparansi dan akuntabilitas memberikan ruang bagi semua pihak untuk mengawasi pengadaan. Terakhir, yang tidak kalah penting dalam upaya mengatasi korupsi kepala daerah dengan mendorong aparat penegak hukum berani menjerat partai politik apabila terbukti melakukan korupsi seperti halnya pemidanaan korupsi yang melibatkan korporasi.
Rangkuman ini disampaikan supya calon, dan konstituen tidak lagi diiming iming uang.